Belakangan ini, kita sering mendengar kasus keuangan yang akhirnya menyeret nama-nama besar Kantor Akuntan Publik (KAP). Padahal, masyarakat berharap KAP bisa menjadi garda terakhir dalam menjaga kepentingan publik atas laporan keuangan. Tapi ada satu hal yang sering luput dari perhatian—akar masalahnya bukan hanya soal KAP itu sendiri, melainkan juga aturan perizinan bagi para profesional akuntan di Indonesia.
Saat ini, Kementerian Keuangan melalui Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) menerbitkan berbagai izin bagi profesi keuangan, seperti izin Akuntan Publik (KAP), izin Konsultan Pajak (KKP), izin Jasa Penilai (KJPP), izin Jasa Aktuaria (KKA), dan izin Kantor Jasa Akuntansi (KJA). Masalahnya, satu individu bisa memiliki lebih dari satu izin sekaligus, selama mereka memenuhi syarat dan memiliki pengguna jasa.

Nah, di sinilah celah yang bisa menimbulkan moral hazard dalam praktiknya. Profesi-profesi ini seharusnya saling mengontrol satu sama lain. Tapi kalau izin-izin tersebut dipegang oleh orang atau lembaga yang sama, bagaimana bisa ada pengawasan yang objektif? Ini seperti meminta seseorang untuk menilai pekerjaannya sendiri—jelas rawan konflik kepentingan.
Idealnya, setiap individu hanya boleh memilih satu izin profesi yang ingin mereka geluti. Dengan begitu, tidak ada lagi praktik "one-stop shopping" alias semua layanan keuangan ditangani satu orang atau satu lembaga yang sama. Kalau dibiarkan, ini hanya akan membuka celah lebih besar bagi kecurangan (fraud), seperti yang sudah kita lihat di berbagai skandal keuangan. Selain itu, pembatasan izin juga akan membuat persaingan di industri lebih sehat dan pemerataan jasa lebih baik. Setiap profesi bisa fokus menjaga standar mutu dan tata kelola yang lebih ketat.
Kalau pemerintah terus mengabaikan masalah ini, jangan heran kalau skandal keuangan terus terjadi dan makin merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi ini. Faktanya, banyak perusahaan atau entitas yang menggunakan jasa profesi ini bukan karena mereka benar-benar percaya, tapi karena tuntutan regulasi.
Jadi, kalau kita mau memperbaiki industri keuangan dan profesi akuntan di Indonesia, aturan perizinan ini harus dievaluasi ulang. Jangan sampai profesi yang seharusnya jadi penjaga transparansi justru malah membuka peluang untuk penyimpangan.